BERANI, KARENA ALLAH DI PIHAK KITA!

Keberanian memang hal penting dan harus
ada dalam hidup kita, tapi berani untuk hal-hal negatif seperti
contoh-contoh di atas atau yang lain, misalnya nyontek, bolos, naik
motor tanpa pake helm, nyetir tanpa punya SIM plus ngebut, melawan orang
tua, menggunakan narkoba, judi, apa ini semua adalah berani yang
sebenarnya? Memang, butuh keberanian juga untuk melakukan hal-hal itu,
tapi apakah itu merupakan keberanian yang tepat?
Menurut kamus yang sempat penulis baca,
definisi dari berani adalah: mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya
diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb; tidak
takut/gentar/kecut). Singkatnya,
berani artinya percaya diri menghadapi
apa yang ada di hadapan.
Sebagai anak-anak Tuhan, standar atau
patokan kita dalam melakukan segala sesuatu adalah kebenaran Firman
Tuhan. Orang lain bisa berpendapat berbeda-beda dalam menilai ‘salah’
atau ‘benar’ dalam suatu tindakan, tapi patokan yang benar adalah apa
kata firman Tuhan tentang keberanian yang tepat.
Yuk kita belajar dari kisah Adam dan
Hawa yang berani memakan buah yang yang jelas-jelas dilarang oleh Allah,
dan dari kisah Daud yang berani melawan Goliat. Adam dan Hawa, dan
Daud, sama-sama berani, tapi mereka memiliki perbedaan yang jelas.
Adam dan Hawa sudah jelas-jelas dilarang
oleh Allah untuk memakan buah itu, tetapi mereka berani melanggar
karena mereka mengembangkan pemikiran yang salah, bahwa mereka akan
menjadi seperti Allah dengan memakan buah itu. Ini pikiran yang
“disuktikkan” oleh si ular ke dalam diri mereka, tapi mereka memilih
untuk merenungkan, mempercayai dan mengembangkannya. Akhirnya, mereka
jadi bertindak berdasarkan pemikiran yang salah ini. Padahal, kebenaran
mengatakan bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah
(Kej. 1:26-27). Jadi sebenarnya, mereka tidak perlu memakan buah itu
“supaya menjadi seperti Allah”, karena mereka sudah “diciptakan serupa
dengan Allah”.
Dalam kasus Daud, ia berani maju melawan
Goliat, karena yakin bahwa Allah menyertai dirinya (1 Sam. 17:46-47).
Keyakinan ini merupakan “kesimpulan” yang terbentuk di pemikiran Daud,
berdasarkan pengalamannya selama menerima berbagai pertolongan Tuhan
dalam hidupnya (1 Sam. 17:37). Jadi, Daud memiliki keyakinan dan
pemikiran yang benar, karena pengenalannya akan Allah.
Dari dua contoh ini, kita bisa lihat
bahwa keberanian yang benar adalah keberanian yang lahir dari atau
dipimpin oleh kebenaran. Keberanian yang benar bukanlah keberanian yang
timbul karena didorong oleh keinginan/kepentingan kita, atau bahkan
lebih tegasnya, didorong oleh hawa nafsu kita sendiri.
Untuk memastikan apakah tindakan kita
adalah tindakan keberanian yang benar, kita perlu periksa diri sendiri
dulu. Apa sih yang mendasari keberanian kita? Apa yang kita mau capai
dengan melakukan tinadkan keberanian itu? Apa Tuhan bakal jadi senang
dengan tindakan keberanian yang kita lakukan? Di sinilah, sebenarnya apa
yang kita percayai mendasari apa yang kita lakukan. Kalau kita lebih
mempercayai nilai-nilai dunia dan pemikiran diri sendiri, otomatis
pemikiran dan tindakan kita akan didorong oleh hal-hal itu. Tapi, kalau
kita sepenuhnya mempercayai nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan, otomatis
pemikiran dan tindakan kita akan didorong oleh kebenaran Firman Tuhan
itu.
Kadang-kadang, prinsip nilai yang kita
pegang atau hal yang kita lakukan sebagai anak Tuhan, berbeda dengan
nilai-nilai dunia di sekitar kita. Akan ada orang-orang yang mengganggap
kita “aneh” karena nilai-nilai hidup kita ini. Seringkali ini bikin
kita jadi ragu karena merasa beda sendiri. Sebenarnya, kita tidak usah
heran atau merasa aneh sendiri, karena memang pasti ada perbedaan bagi
kita yang dipanggil untuk menjadi terang di tengah dunia. (Mat. 5:16;
Ef. 5:8; 1 Tes. 5:5). Bahkan, kita sudah seharusnya hidup sesuai dengan
nilai-nilai kebenaran ini, walaupun bertentangan dengan nilai-nilai di
sekitar kita.
Efesus 5:8-11 "...Sebab
itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan
kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujilah apa yang berkenan kepada
Tuhan. Janganlah turut mengambil dalam perbuatan-perbuatan kegelapan
yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah
perbuatan-perbuatan itu."
Secara pribadi, penulis juga mengalami
“sulitnya” memilih mengikuti perasaan sendiri dan standar-standar dunia
pada umumnya, atau mengikuti standar dan melakukan apa yang Tuhan mau
(yang beresiko berbeda pendapat dan dianggap aneh oleh orang-orang
“sekitar”). Dalam pergumulan untuk memilih, penulis sempat terpengaruh
juga untuk berkompromi dengan standar Allah: tahu salah tapi tetap
dilakukan, tahu benar tapi tidak dilakukan. Ini akhirnya bikin penulis
repot sendiri. Pilihan-pilihan ini, dua-duanya butuh keberanian untuk
dipilih, tapi keberanian yang berbeda. Ini tidak mudah. Pilihan yang
benar memang kelihatannya rasanya tidak enak, butuh pengorbanan, dan
banyak resiko. Tapi pada akhirnya, penulis memilih berani melakukan apa
yang sesuai kebenaran, sesuai maunya Tuhan, sekalipun dianggap “bodoh”
dan aneh.
Tuhan adalah pemilik hidup kita, dan Ia
tahu apa yang harus kita lakukan, dalam segala hal. Itu sebabnya, Ia
berikan kebenaranNya di dalam Alkitab sebagai tuntunan untuk setiap
langkah kita. Yang berkenan bagi Tuhan bukanlah sekedar kita tahu
kebenaran ini, tetapi justru kita mengikuti teladan Yesus melakukan
kebenaran. Kita akan sanggup melakukan ini, karena kita mengasihi Dia,
karena Ia sudah lebih dulu mengasihi kita. Kabar gembiranya, Allah punya
jaminan yang pasti bagi kita yang mengasihi Dia: Ia menyediakan apa
yang tidak terpikirkan, tidak pernah kita dengar, dan tidak pernah kita
lihat (1 Kor. 2:9) Artinya, apa yang Tuhan sediakan untuk kita ini,
melebihi perkiraan/ekspektasi kita. Dan tentunya, melebihi resiko-resiko
yang harus kita tanggung ketika berani melakukan kebenaran.

No comments:
Post a Comment