KISAH SEBUAH HATI YANG DIJADIKAN BARU

“Aku adalah seorang perempuan muda, usia
hampir 30-an tahun. Selama ini aku sangat aktif dengan berbagai
kegiatan gereja, dan terbiasa untuk melayani orang lain dan mendampingi
mereka untuk mengalami perubahan hidup. Tanpa sadar, aku “lupa” untuk
mengijinkan Tuhan melayani dan
mengubah hidupku sendiri. Terutama
hatiku. Sampai akhirnya, satu peristiwa “besar” sungguh-sungguh
dipakaiNya untuk mengubah hatiku menjadi baru.
Aku punya seorang sahabat yang sangat
dekat sejak bertahun-tahun. Hubungan kami begitu dekat sehingga di
antara kami ada “ikatan” emosional yang sangat kuat, dan kami terbiasa
melakukan banyak hal dalam aktivitas sehari-hari secara bersama-sama.
Ketika sahabatku ini menikah, aku sangat merasa kehilangan. Kesedihan
akibat rasa kehilangan ini ternyata sangat besar hingga melumpuhkan
kemampuanku untuk berfungsi dalam aktivitas-aktivitas yang normal hingga
berhari-hari. Beberapa orang terdekat terus mendukung dan mendoakanku
dalam masa-masa sulit ini. Dalam proses bergumul dengan Tuhan membawa
perasaanku ini, ternyata Ia justru meng-“operasi” hatiku serta
mengubahkan banyak hal yang tadinya tersembunyi.
Yang mengejutkan, ternyata Tuhan semakin
bukakan lewat perasaan sedih dan kehilangan yang aku alami, bahwa
sebenarnya aku telah lama memiliki kepercayaan yang salah dalam alam
bawah sadarku, yaitu bahwa Tuhan itu memang baik, namun kebaikanNya
dalam bentuk memberikan seorang pasangan hanya terjadi pada orang lain,
bukan kepada diriku. Kebaikan Tuhan padaku muncul dalam bentuk
pengurapan dan kepercayaanNya dalam berbagai tanggung jawab
pelayanan/pekerjaan, bukan dalam bentuk pemberian seorang pasangan
hidup, karena aku melihat bahwa teman-teman di sekitarku mulai menemukan
pasangan hidupnya dan menikah, sementara aku terus “tenggelam” dalam
kesibukan kegiatan gereja. Parahnya lagi, paradigma yang salah ini
semakin terbangun salah satunya lewat berbagai “contoh buruk” kehidupan
pranikah orang-orang di sekitarku, yang rata-rata tidak lagi
memprioritaskan Tuhan setelah mereka berpasangan, apalagi menikah. Ini
membuat aku “malas” untuk membuka diri dalam hal hubungan dengan lawan
jenis, karena aku tidak ingin mengikuti “contoh buruk” tadi. Selain itu,
pertanyaan-pertanyaan dari beberapa pemimpin di gereja mengenai kapan
aku akan menikah dan “saran-saran” mereka, baik yang bernada perjodohan
maupun yang bernada menyalahkan karena aku dinilai terlalu “pemilih”,
tanpa sadar membuat hatiku terganggu. Perkataan-perkataan semacam ini
ternyata sedikit demi sedikit menggesek hatiku dan menjadikannya
terluka, karena aku merasa “dianggap bersalah dan aneh” karena belum
memiliki pasangan juga di usia menjelang 30 tahun ini.
Luka yang aku biarkan di hatiku itu
telah menciptakan paradigma-paradigma yang salah, yang ternyata,
membentuk diriku jadi mudah sinis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pasangan hidup. Tuhan mengingatkan bahwa seringkali aku bersikap
terlalu keras kepada orang-orang yang aku layani yang sedang menjalani
hubungan pranikah. Aku mudah curiga dan cenderung menghakimi mereka yang
sedang membutuhkan bimbingan dalam membangun hubungan dengan pasangan.
Sementara itu, aku sendiri juga menerapkan standar yang sama kerasnya
kepada diriku sendiri. Aku cenderung enggan untuk membuka diri dan
hatiku terhadap lawan jenis, dengan dalih bahwa aku sedang menjaga
standar nilai-nilai “yang benar”, padahal sebenarnya karena luka di
hatiku sendiri dan paradigmaku sendiri yang salah.
Beberapa hari setelahnya aku banyak
menyendiri bersedih-sedih, Tuhan menyatakan hal lain lagi yang Ia ingin
sembuhkan. Lewat kata-kata seorang teman, Tuhan membukakan bahwa di
hatiku ada ketakutan tersendiri terhadap pernikahan. Ketika aku tanyakan
pada Tuhan penyebabnya, Ia menyatakan lebih lanjut bahwa aku sudah lama
mempunyai luka hati yang tidak disadari karena sejak dulu aku tidak
pernah mendapatkan pujian untuk penampilan fisikku, khususnya dari lawan
jenis. Mereka yang berkata aku cantik hanyalah ibu aku dan
sahabat-sahabat dekat atau saudaraku, namun bukan para pria. Tanpa
disadari, aku terdorong untuk senantiasa mengejar prestasi intelektual
dan mengabaikan penampilan, karena pengalaman-pengalaman ini membuat aku
merasa tidak normal, tidak cantik dan tidak berharga. Kemudian saat
sahabatku yang baru menikah ini mengunjungiku dan mendoakanku, Tuhan
berkata kepadaku bahwa aku diciptakan olehNya sebagai wanita yang
normal, indah dan cantik. Malamnya ketika pikiran-pikiran ketakutan
kembali mengganggu, aku mengalami penglihatan bahwa Tuhan berdiri di
depanku dan mengijinkanku menjamah jubahNya, sehingga aku terbangun
dengan keyakinan/iman bahwa Ia pasti menyembuhkanku.
Saat itu, sebenarnya aku sudah 2,5 bulan
tidak mengalami menstruasi, dan diam-diam aku cemas dengan hal ini.
Berkali-kali aku berdoa supaya siklus menstruasiku segera kembali
normal, namun itu tidak kunjung terjadi. Malam itu, setelah penglihatan
di mana aku menjamah jubah Tuhan Yesus, aku minta sahabat untuk
mendoakan fungsi reproduksi tubuhku agar kembali normal. Salah satu hal
yang dikatakannya ketika berdoa adalah, “Besok kamu akan mengalami
menstruasi lagi..” Aku pun yakin hal itu akan terjadi, karena aku sudah
menjamah jubah Yesus. Keesokan harinya saat bekerja di kantor, tiba-tiba
saat ke toilet aku mendapati bahwa aku benar-benar mengalami
menstruasi! Saat itu aku sungguh-sungguh senang dan ingin rasanya untuk
bersorak-sorai dan melompat-lompat, menceritakan mujizat ini kepada
semua orang. Aku tidak dapat berhenti tersenyum sepanjang hari itu. Yang
lebih luar biasa, setelah keluar dari toilet dan merenungkan
kebaikanNya sambil bekerja kembali, Tuhan berbicara dengan lembut di
hatiku, “Lihat, Aku menciptakan kamu sebagai wanita normal. Kamu tidak
perlu takut lagi, karena Aku sudah menjamah kamu dan menguduskan bukan
hanya hatimu tapi juga seluruh tubuhmu, termasuk organ-organ
kewanitaanmu. Kamu indah dan cantik, normal dan kudus, dan aku sudah
menjadikan kamu baru kembali…” Inilah perkataanNya yang menjadi
peneguhan tersendiri bagiku bahwa Tuhan sungguh telah menyembuhkan
hatiku.
Sekarang aku tahu, aku sudah disembuhkan
dan siap untuk memasuki babak baru kehidupanku, siap untuk berlari lagi
mengejar panggilanNya lewat apapun yang Ia percayakan untuk kulakukan
setiap hari.. ” (anonim)
No comments:
Post a Comment